Sebelum ada manusia di Bumi ini, hanya ada dua dewa. Yang pertama adalah Tochapa, dewa yang baik, dan Hokomata, dewa yang jahat.
Tochapa memiliki anak perempuan bernama Pu-Keh-eh, yang diharapkan akan menjadi ibu dari semua kehidupan. Namun Hokomata tidak ingin ada kehidupan lain di dunia ini, sehingga ia membanjiri Bumi dengan air bah.
Saat air mulai mengalir, Tochapa mengambil pohon yang besar lalu melobangi batangnya dan menyembunyikan Pu-keh-eh di dalamnya. Ketika banjir datang, putri semata wayang itu selamat.
Akhirnya banjir besar pun surut. Jejaknya meninggalkan aliran sungai dan puncak-puncak gunung. Pada jalur utamanya terciptalah lembah raksasa yang kemudian disebut Grand Canyon.
Pu-keh-eh yang selamat dari bencana, kemudian mendapatkan anak laki-laki dari Matahari, dan anak perempuan dari air terjun. Dari perkawinan keduanya, muncullah orang-orang di Bumi.
Yang pertama adalah orang-orang Havasupai, diikuti orang-orang Apache, lalu Hualapai, Hopi, Paiute, dan Navajo. Orang-orang inilah yang kemudian menghuni Grand Canyon.
Cerita di atas adalah kisah yang diturunkan oleh orang-orang Indian yang takjub akan kemegahan Grand Canyon. Mereka bertanya-tanya bagaimana ngarai raksasa berdinding batu itu bisa terbentuk.
Bukan hanya penduduk asli, para pendatang dan wisatawan yang datang bertahun-tahun kemudian pun masih takjub dan bertanya-tanya bagaimana lembah itu tercipta.
*****
Saya berkesempatan mengunjungi Grand Canyon pada Januari lalu bersama beberapa wartawan dari Asia dan Australia. Acara kami sebenarnya adalah meliput Consumer Electronic Show di Las Vegas atas undangan Lenovo.
Namun sehari sebelum kepulangan, kami diajak untuk mengunjungi Grand Canyon di wilayah Arizona yang berbatasan dengan negara bagian Nevada.
Sehari sebelum berangkat, Peter Ngion, pemandu kami yang selalu menguncir rambutnya berpesan agar kami membawa jaket tebal dan sarung tangan. “Cuaca sedang dingin. Boleh jadi di sana nanti mencapai titik beku sehingga kita kedinginan,” ujarnya.
Esoknya, menjelang keberangkatan, kebetulan suhu di Las Vegas juga sedang turun. Saat kami berjalan keluar dari hotel menuju bus, empasan angin dingin itu sampai terasa menyakitkan telinga dan masuk melalui celah-celah jaket. Padahal saya sudah memakai kaos lengan panjang, jaket dengan hoodie, ditambah jaket kulit.
“Nah, di sini saja dingin, apalagi nanti di sana,” ujar Peter. Maka dia pun membagikan bantalan penghangat pada setiap orang.
Untunglah bus kami menjadi tempat yang hangat untuk melanjutkan tidur. Meski di awal perjalanan pemandu menjelaskan soal tempat yang akan kami kunjungi, namun karena perjalanan membutuhkan waktu lebih dari tiga jam, maka Peter menganjurkan kami untuk tidur.
“Nanti saya bangunkan kalau kita melewati tempat-tempat yang bagus untuk berfoto. Selepas Kota Las Vegas, kita hanya akan melalui padang gurun. Jadi tidak banyak yang bisa dilihat. Semua sama bentuknya,” ujar Peter.
Namun justru kata “Padang Gurun” itu yang membuat saya tidak jadi tertidur. Sambil mengamati bentangan pasir berbatu dengan semak-semak dan kaktus, saya terbayang cerita-cerita yang saya baca di masa kecil, tentang petualangan Old Shatterhand dan Winnetou yang sering kali mengembara di gurun.
Juga bayangan-bayangan komik Lucky Luke si koboi pengelana yang menembak lebih cepat dari bayangannya, serta film kartun Looney Tunes tentang perseteruan Wile E Coyote dengan RoadRunner yang berkejar-kejaran di padang gurun.
Kini di depan saya terbentang padang gurun itu, gurun Nevada dan Arizona!
Dalam perjalanan menuju Grand Canyon, tepatnya di perbatasan Nevada dan Arizona, kami melewati Hoover Dam. Bendungan beton di Black Canyon yang menahan aliran Sungai Colorado ini lagi-lagi mengingatkan saya pada film Transformers, di mana para Autobots berperang dengan Decepticons.
Kami hanya memandang Hoover Dam dari dalam bus karena kami tidak ingin terlambat sampai di Grand Canyon. “Mumpung cuaca cerah, sebaiknya kita segera sampai. Kalau nanti mendung atau hujan, kita tidak bisa menikmati canyon,” kata Peter.
Untunglah perjalanan menuju Grand Canyon tidak melewati daerah macet. Bahkan bus kami seperti satu-satunya kendaraan yang melewati jalur sunyi di tengah gurun.
Beberapa kali kami melihat burung-burung gagak dan coyote (sejenis anjing liar) di padang, pemandangan yang selama ini hanya saya saksikan di film-film wild west.
Sebelum tengah hari, kami sudah sampai di Hualapai Indian Reservation, pos di mana kami bisa menuju ke bawah lembah Grand Canyon menggunakan helikopter.
Hari itu rupanya cuaca sedang ramah pada kami. Walau dingin, namun matahari bersinar cerah dan angin tidak berembus kuat sehingga tak membuat kami menggigil.
Turun dari bus, kami disambut deru baling-baling helikopter yang bergantian mengangkut pengunjung.
Pemandangan heli yang terbang di dekat kami itu sudah merupakan hiburan, sehingga kami menyempatkan mengambil foto dan videonya. Padahal apa yang akan kami alami di depan, jauh lebih seru...
Tanah Bangsa Pinus Tinggi
Lokasi yang kami kunjungi hari itu adalah tanah milik suku Hualapai. Mereka dikenal juga sebagai “orang-orang pinus tinggi”. Dalam bangunan berlantai kayu, kami disambut beberapa orang yang mengenakan pakaian suku yang berwarna-warni.
Beberapa orang tua dari suku Hualapai dipekerjakan sebagai penjaga loket dan penyobek tiket. Namun beberapa orang berwajah Asia juga bekerja di tempat tersebut.
“Silakan yang ingin ke toilet, sebelum kita naik helikopter. Atau bila ada yang ingin merokok, hanya ada satu tempat, yakni di luar, di ujung bangunan. Waktu kita sekitar 15 menit,” ujar Peter.
Menurut Peter, orang-orang di reservasi ini sangat menjaga kemurnian tanahnya, sehingga mereka menerapkan aturan ketat untuk membuang sampah dan merokok. Hanya ada lokasi tertentu saja yang diperuntukkan bagi perokok. Bila melanggar, maka dendanya mencapai ratusan dollar AS.
Beberapa saat kemudian, kami dikumpulkan untuk mendengarkan aturan-aturan sebelum naik helikopter. Seperti hendak melakukan penerbangan jarak jauh, semua penumpang harus menunjukkan paspornya, lalu diberi gelang.
Walau jantung berdebar, namun penjelasan yang diberikan membuat kami tertawa geli. Salah satu aturan misalnya melarang penumpang heli melompat-lompat di dekat heli saat baling-baling berputar. Ya iyalah, kita juga udah tahu...
Akhirnya giliran kami tiba untuk naik helikopter. Seorang wanita tua suku Hualapai memeriksa tiket kami, lalu kami berjalan menuju area pemberangkatan. Helikopter yang akan membawa kami berukuran kecil. Namun suara derunya terdengar walau jaraknya masih jauh.
Samar-samar saya mendengar dua petugas pemberangkatan berbincang-bincang. Uniknya mereka berbicara dalam bahasa Mandarin.
“Sungguh unik, kita berada di padang gurun di tanah Indian, di negara Amerika, namun orang-orang bicara bahasa Mandarin,” ujar Son, wartawan dari Vietnam.
Keduanya memeriksa gelang tangan kami, meminta kami menurunkan tas ransel dari punggung, lalu berjalan merunduk menuju helikopter.
Walaupun saya yakin bila berdiri tegak pun baling-balingnya tak akan mengenai kepala kami, namun anginnya yang mendesing-desing menbuat kami secara refleks menundukkan badan.
Di dalam heli, hanya ada lima tempat duduk penumpang. Dua di depan, dan tiga di belakang. Dinding heli dan sebagian dasarnya berupa kaca, sehingga kami bisa melihat pemandangan dengan leluasa, sekaligus menjadi ujian bagi mereka yang takut ketinggian.
Setelah petugas memastikan semua aman, pilot pun perlahan mengangkat heli dari landasan. Semakin tinggi kami mengudara, pemandangan Grand Canyon yang menakjubkan makin tampak jelas.
Dataran gurun itu dibelah oleh lembah raksasa dengan Sungai Colorado yang berwarna gelap di bawahnya.
Colorado sendiri artinya berwarna merah, karena sungai itu banyak mengangkut tanah lempung. Di wilayah Grand Canyon, sungai itu mengalir sepanjang 446 kilometer.
Dinding-dinding lembah menjulang berkelok-kelok mengikuti aliran sungai. Helikopter yang kami tumpangi pun terbang di antaranya, menciptakan bayangan di bebatuan.
Kami sibuk mengabadikan pemandangan dan berseru-seru kegirangan, seperti anak-anak yang baru pertama kali naik bom bom car.
“Luar biasa,” kata Son.
“Bagaimana alam membentuk tempat ini ya? Jangan-jangan ini karya aliens,” katanya.
Dia rupanya memiliki pertanyaan serupa dengan orang-orang Indian yang pertama kali mengunjungi Grand Canyon.
Di dasar lembah yang lebarnya sekitar 400 meter, kami mendarat. Di situ ada gubug-gubug kayu dan jalan setapak yang membawa kami menuju dermaga kecil, tempat perahu-perahu ditambatkan.
Para petugas membantu kami menaiki perahu itu dan memasang jaket pelampung. Meski alirannya terlihat tenang, namun kedalaman Sungai Colorado ini mencapai 2 hingga 9 meter, bahkan 30 meter di beberapa titik.
Maka selain karena airnya dingin, kedalamannya juga membuat kami tidak berniat menceburkan diri ke sana.
Dengan perahu kami menyusuri aliran sungai. Hawa dingin menyergap. Namun foto-foto dengan latar belakang dinding lembah jalan terus...
Menurut pengemudi perahu, bila beruntung kita bisa melihat kambing gunung jenis big horn yang habitatnya berada di lembah canyon.
Kambing jenis ini bisa mendaki tebing-tebing cadas dengan cekatan. Namun sayang, hari itu tak satupun dari mereka menampakkan diri.
Usai menyusuri sungai, kami kembali ke dermaga tempat helikopter menunggu. Rupanya kami menumpang heli yang lain dengan pilot berbeda. Berbeda dengan pilot pertama, ia lebih suka menerbangkan heli dengan gaya aerobatik.
Kadang-kadang ia membelokkan heli dengan memiringkannya sehingga kami bisa lebih jelas melihat ke bawah, dan di saat lain ia mendekatkan heli dengan dinding canyon agar bebatuannya tampak detail.
Setelah penerbangan yang mendebarkan itu, kami sampai lagi ke reservasi. Dari sana, pengelola menyediakan bus yang rutenya mengelilingi Grand Canyon bagian barat.
Menu Koboi yang Dimasak Indian
Menggunakan bus, kami menuju ke lokasi makan siang yang ternyata adalah sebuah ranch atau peternakan yang digunakan sebagai tempat wisata.
Ranch itu dibatasi pagar-pagar kayu, dengan bangunan di sekelilingnya, dan lapangan di tengahnya. Beberapa tiang totem Indian menghiasi pintu masuk.
Di dalamnya ada toko cindera mata yang menjual barang-barang kerajinan penduduk asli, seperti syal, selimut, dan baju motif Indian.
Selain itu ada juga hiasan seperti kalung jimat, manik-manik, patung-patung beruang, srigala, kuda, dan hewan lain berukuran kecil.
Saya sempat tertarik untuk membeli beberapa barang, namun kerajinan lokal dihargai cukup mahal. Misalnya selimut atau syal, harganya di atas 200 dollar AS, atau lebih dari Rp 2 juta.
Saya membayangkan, dengan uang yang sama, saya bisa mendapatkan kain tenun dengan kualitas bagus di tanah air.
Sementara pernik-pernik yang harganya tidak terlalu tinggi, ternyata “Made in China”. Dan nyaris semua cindera mata di Vegas maupun di tempat wisata lain adalah buatan China.
Nah, lalu apakah yang masih asli di lokasi ini? Jawabannya adalah makanan dan suasana bersantap ala koboi.
Bangunan utama di Hualapai Ranch adalah restoran dengan pintu kupu-kupu seperti dalam film wild west. Dindingnya dihiasi senapan-senapan kuno, panah, serta tomahawk atau kapak perang suku Indian.
Di restoran ini menunya menyesuaikan kebiasaan setempat. Kita bisa memilih kentang atau sup kacang, dengan lauk ayam panggang atau daging. Sayurannya sama, wortel, buncis, dan brokoli. Sebagai makanan penutup ada roti jagung manis.
Kami mengantre di depan dapur. Di sana ada tulisan peringatan bahwa makanan ini diproses dengan cara setempat, dan pengunjung dipersilakan mempertimbangkan sendiri apakah mau menyantapnya atau tidak.
Petugas akan menanyakan apa pilihan kita, lalu menuangkan makanan ke piring. Benar-benar seperti kehidupan di wild west yang liar.
Saya dan Erry Rahmantyo, rekan lain dari Lenovo Indonesia, segera menyantap makanan itu. Rasanya tidak seburuk dugaan, bahkan terasa enak di lidah kami. “Ngelih je (lapar je),” ujar Erry dalam bahasa Jawa.
Saat makan, kami tiba-tiba dikejutkan oleh letusan pistol dari luar restoran. Ternyata di halaman ranch sedang ada adu tembak antar dua koboi. Mereka sebenarnya turis yang diberi topi dan ikat pinggang berisi pistol. Keduanya adu cepat menembak. Tentu saja pistol itu tidak berisi peluru asli, meski suaranya sangat keras.
Permainan duel pistol ini dipandu oleh petugas yang berbicara keras dengan logat wild west, seperti sambil mengunyah tembakau. Mereka menjelaskan aturan permainan, di mana peserta hanya boleh mencabut pistol setelah hitungan ketiga. Lalu ‘duaaar’ letusan keras diikuti tawa terbahak-bahak para peserta terdengar.
Selain duel pistol, wisatawan bisa juga mengendarai kuda atau kereta di dalam ranch. Ada juga permainan rodeo meskipun tidak menggunakan banteng sungguhan, namun hanya robot banteng.
Bagi mereka yang ingin bermalam di dalam ranch, disediakan lodge yang bersih dan nyaman. Meski begitu, pengunjung diperingatkan untuk hati-hati berjalan-jalan di sekitar ranch karena di daerah itu masih banyak ular derik atau rattle snake yang gigitannya bisa membuat seseorang kehilangan nyawa.
Elang Grand Canyon
Keluar dari ranch, masih banyak lokasi indah di Grand Canyon. Kami pun menunggu bus sambil menghangatkan badan di dekat tungku api yang tersedia. Tak lama, bus tiba untuk membawa kami ke tujuan berikutnya: Eagle Point.
Eagle Point merupakan titik yang dianggap istimewa oleh suku Hualapai. Di sini kita bisa menyaksikan dinding batu yang berbentuk seperti elang raksasa mengepakkan sayapnya. Di titik inilah, orang Hualapai menyebutnya sebagai pertemuan antara surga dengan bumi.
Jurang di Eagle Point sangat curam, sehingga pengunjung diminta berhati-hati untuk tidak berada terlalu dekat dengan bibir tebing.
“Bebatuan di sini bisa lepas. Jadi jangan terlalu ke pinggir. Bila ada barang yang terjatuh, relakan saja, tidak usah berusaha mengambilnya karena tidak ada yang selamat bila jatuh dari sini,” ujar Peter.
Meski diminta berhati-hati, namun pesona Eagle Point membuat banyak pengunjung rela menempuh resiko. Banyak yang berfoto di tepinya, demi mendapatkan latar belakang sang elang, dan jurang dalam di bawahnya.
Patricia, salah seorang pemandu yang mendampingi rombongan kami, mendekati saya dan menunjukkan titik di mana kita bisa mengambil foto dengan latar belakang keren.
Salah satunya adalah sebuah batu yang menonjol, di mana kita bisa duduk dan mendapatkan background jurang dengan Rio Colorado di bawahnya.
Saat saya menuju batu itu, beberapa rekan berteriak agar saya berhati-hati. Maka saya pun duduk dan merangkak maju untuk mencapai tepinya. Patricia mengambil foto dan hasilnya membuat saya puas.
Titik lain yang ditunjukkan Patricia adalah lokasi dengan latar belakang platform kaca Grand Canyon Skywalk di mana orang bisa berjalan di atasnya untuk melihat ke dasar jurang sedalam 1,3 kilometer.
Di titik itu, Patricia meminta saya seolah mengangkat platform dengan tangan. “Naikkan dikit, ya berhenti di situ,” ujarnya.
Belum selesai menikmati pemandangan Eagle Point, kami sudah diminta berkumpul untuk menuju Guano Point. Di tempat yang juga disebut sebagai “home of the Hualapai” ini terdapat bukit di mana kita bisa melihat pemandangan 360 derajat dari Grand Canyon.
Puncak bukit itu tidak sulit untuk didaki, meski kita harus berhati-hati melangkah karena ada batu-batu yang bisa terlepas dari tempatnya.
Saya dan Son, wartawan dari Vietnam sempat kesulitan naik ke bukit karena keliru memilih jalan setapak. Kami mendorong dan menarik satu sama lain untk mencapai puncak.
Begitu sampai puncak, kami baru sadar bahwa ada jalan setapak yang jauh lebih mudah dilalui. Sementara tidak ada orang lain yang melalui jalur kami.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar