MENDUNG menggantung di lereng kaki Gunung Slamet. Sepasang muda-mudi menaiki ratusan anak tangga berupa tanah berundak yang ditahan bambu-bambu.
Meski tinggal berjarak 100 meter dari Curug Jenggala, karena hujan lebat turun, mereka pun sabar menanti di sebuah pondok sederhana.
”Penasaran ingin lihat Curug Jenggala yang ramai di media sosial,” kata Melinda (18) yang datang bersama Audy Dwi (19), kekasihnya, Jumat (3/2/2017) siang.
Mereka berasal dari Kabupaten Cilacap dan khusus datang ke wisata alam di Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah, untuk mengisi waktu liburan kuliah.
”Rabu kemarin sudah sampai di Dusun Kalipagu, tapi keburu hujan deras lalu pulang lagi. Sekarang hampir sampai baru hujan deras,” tutur Audy.
Meski tinggal berjarak 100 meter dari Curug Jenggala, karena hujan lebat turun, mereka pun sabar menanti di sebuah pondok sederhana.
”Penasaran ingin lihat Curug Jenggala yang ramai di media sosial,” kata Melinda (18) yang datang bersama Audy Dwi (19), kekasihnya, Jumat (3/2/2017) siang.
Mereka berasal dari Kabupaten Cilacap dan khusus datang ke wisata alam di Dusun Kalipagu, Desa Ketenger, Kecamatan Baturraden, Banyumas, Jawa Tengah, untuk mengisi waktu liburan kuliah.
”Rabu kemarin sudah sampai di Dusun Kalipagu, tapi keburu hujan deras lalu pulang lagi. Sekarang hampir sampai baru hujan deras,” tutur Audy.
Curug Jenggala berjarak sekitar 17 kilometer dari Purwokerto, Kabupaten Banyumas, dengan waktu tempuh 45 menit hingga 1 jam menggunakan kendaraan bermotor.
Setibanya di Dusun Kalipagu, pengunjung dapat membeli tiket masuk Rp 5.000 per orang. Sekitar 800 meter sebelum curug, karena akses jalan terbatas, kendaraan roda dua harus diparkir di halaman rumah warga dengan ongkos Rp 2.000 per motor.
Dari parkiran, pengunjung dapat berjalan kaki menyusuri jalan bebatuan dan setapak selebar 1 meter di tepi pipa air PLTA Ketenger.
Sambil berjalan, pengunjung dapat menikmati sawah, alam perbukitan, dan hutan alami di wilayah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Timur. Jalan yang terjal dan curam itu dapat ditempuh sekitar 30-45 menit.
Setibanya di Dusun Kalipagu, pengunjung dapat membeli tiket masuk Rp 5.000 per orang. Sekitar 800 meter sebelum curug, karena akses jalan terbatas, kendaraan roda dua harus diparkir di halaman rumah warga dengan ongkos Rp 2.000 per motor.
Dari parkiran, pengunjung dapat berjalan kaki menyusuri jalan bebatuan dan setapak selebar 1 meter di tepi pipa air PLTA Ketenger.
Sambil berjalan, pengunjung dapat menikmati sawah, alam perbukitan, dan hutan alami di wilayah Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan Banyumas Timur. Jalan yang terjal dan curam itu dapat ditempuh sekitar 30-45 menit.
Alternatif lain adalah menyewa jasa ojek warga setempat dengan ongkos Rp 10.000 sekali antar hingga kompleks Rumah Jaga Kolam Tando Harian Muntu Sub PLTA Ketenger.
Rumah jaga itu hanya 300 meter sebelum curug. Jadi, pengunjung hanya tinggal berjalan kaki menyusuri bukit dan menyeberangi sungai dengan waktu tempuh 15 menit sebelum tiba di curug.
Dek cinta
Ikon khas wisata alam Curug Jenggala adalah dek cinta yang disusun dari kayu berbentuk waru atau hati. Di dek itu, para pengunjung bisa berswafoto dengan latar belakang empat buah jeram dari air terjun Jenggala.
Rumah jaga itu hanya 300 meter sebelum curug. Jadi, pengunjung hanya tinggal berjalan kaki menyusuri bukit dan menyeberangi sungai dengan waktu tempuh 15 menit sebelum tiba di curug.
Dek cinta
Ikon khas wisata alam Curug Jenggala adalah dek cinta yang disusun dari kayu berbentuk waru atau hati. Di dek itu, para pengunjung bisa berswafoto dengan latar belakang empat buah jeram dari air terjun Jenggala.
Bila ingin mendapatkan foto dengan komposisi utuh dek cinta serta pemandangan air terjun, telah disediakan pula sebuah panggung setinggi 1,5 meter di depan dek cinta.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Gempita Desa Ketenger Purnomo mengatakan, di balik dek cinta ada makna untuk mengingatkan seluruh pengunjung dan warga tentang semangat handuweni atau memiliki.
”Dengan semangat memiliki, orang akan ikut mencintai dan menjaga lingkungan serta sesamanya,” kata Purnomo.
Curug Jenggala kini dikelola warga sekitar. Modal untuk membeli kayu untuk membuat deck cinta dan jembatan disediakan Perhutani, sedangkan warga bergotong royong menata tempat itu. ”Misi yang diangkat adalah hutan lestari, masyarakat sejahtera,” ujar Purnomo.
Setidaknya ada 30 orang yang dilibatkan untuk mengelola tempat wisata itu. Mereka berbagi tugas, antara lain menjaga loket masuk, pengembangan usaha, dan keamanan. Tiap bulan rata-rata pendapatan mereka berkisar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per orang.
”Dari sisi ekonomi, warga mendapatkan pemasukan tambahan. Dari segi sosial, warga mulai sadar bagaimana menyapa pengunjung serta tidak lagi menjemur pakaian dalam di depan rumah,” papar Purnomo.
Dwiyana (21), salah satu petugas loket, bersyukur mendapatkan pekerjaan di kampung halamannya itu setelah selesai SMA.
Sementara Suprapto (43), yang sehari-hari membersihkan lahan, kini mulai jadi tukang ojek. ”Sehari dapat Rp 70.000 sampai Rp 100.000,” kata Suprapto.
Di wilayah itu terdapat pula obyek wisata Curug Penganten, Curug Muntu, Situs Batur Lumpang, dan Bukit Cinta. Namun, dengan dibukanya obyek wisata Curug Jenggala pada 22 Oktober 2016, kata Dwiyana, jumlah pengunjung meningkat.
”Sebelum curug ini dibuka, jumlah kunjungan per bulan tidak sampai 2.000 orang. Setelah dibuka, pengunjung bertambah sampai 10.000 bahkan 13.000 orang per bulan,” kata Dwiyana.
Tokoh masyarakat Dusun Kalipagu, Nur Sanjaya (47), mengatakan, Curug Jenggala ada di pertemuan antara Sungai Banjaran dan Sungai Mertelu.
Di sana juga terdapat Situs Batur Semende yang menjadi penanda tempat pelatihan para prajurit Kerajaan Jenggala pada tahun 1040. ”Di sini para prajurit utama atau para senopati berlatih ilmu keprajuritan dan kanuragan,” kata Nur.
Ketua Lembaga Masyarakat Desa Hutan Gempita Desa Ketenger Purnomo mengatakan, di balik dek cinta ada makna untuk mengingatkan seluruh pengunjung dan warga tentang semangat handuweni atau memiliki.
”Dengan semangat memiliki, orang akan ikut mencintai dan menjaga lingkungan serta sesamanya,” kata Purnomo.
Curug Jenggala kini dikelola warga sekitar. Modal untuk membeli kayu untuk membuat deck cinta dan jembatan disediakan Perhutani, sedangkan warga bergotong royong menata tempat itu. ”Misi yang diangkat adalah hutan lestari, masyarakat sejahtera,” ujar Purnomo.
Setidaknya ada 30 orang yang dilibatkan untuk mengelola tempat wisata itu. Mereka berbagi tugas, antara lain menjaga loket masuk, pengembangan usaha, dan keamanan. Tiap bulan rata-rata pendapatan mereka berkisar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per orang.
”Dari sisi ekonomi, warga mendapatkan pemasukan tambahan. Dari segi sosial, warga mulai sadar bagaimana menyapa pengunjung serta tidak lagi menjemur pakaian dalam di depan rumah,” papar Purnomo.
Dwiyana (21), salah satu petugas loket, bersyukur mendapatkan pekerjaan di kampung halamannya itu setelah selesai SMA.
Sementara Suprapto (43), yang sehari-hari membersihkan lahan, kini mulai jadi tukang ojek. ”Sehari dapat Rp 70.000 sampai Rp 100.000,” kata Suprapto.
Di wilayah itu terdapat pula obyek wisata Curug Penganten, Curug Muntu, Situs Batur Lumpang, dan Bukit Cinta. Namun, dengan dibukanya obyek wisata Curug Jenggala pada 22 Oktober 2016, kata Dwiyana, jumlah pengunjung meningkat.
”Sebelum curug ini dibuka, jumlah kunjungan per bulan tidak sampai 2.000 orang. Setelah dibuka, pengunjung bertambah sampai 10.000 bahkan 13.000 orang per bulan,” kata Dwiyana.
Tokoh masyarakat Dusun Kalipagu, Nur Sanjaya (47), mengatakan, Curug Jenggala ada di pertemuan antara Sungai Banjaran dan Sungai Mertelu.
Di sana juga terdapat Situs Batur Semende yang menjadi penanda tempat pelatihan para prajurit Kerajaan Jenggala pada tahun 1040. ”Di sini para prajurit utama atau para senopati berlatih ilmu keprajuritan dan kanuragan,” kata Nur.
”Air surga”
Menurut Nur, Curug Jenggala diapit dua bukit, yakni Bukit Cipokol dan Bukit Ciangin. Cipokol berarti air pokok, sedangkan ciangin berarti embun. Air yang mengalir di Curug Jenggala, kata Nur, bermakna ”air surga”.
”Air itu memberi kehidupan bagi warga. Itu terbukti dengan tumbuhnya perekonomian seiring pertambahan pengunjung,” ujarnya.
Nur menambahkan, untuk menjaga keharmonisan dan kelestarian alam sekitar, warga ataupun pengunjung dilarang membuang sampah sembarangan, tidak berbuat mesum, serta menghargai kearifan lokal.
Demi keselamatan, pengunjung dilarang turun dan bermain air di sekitar curug yang tingginya sekitar 15 meter saat hujan dan mendung di bagian hulu karena rawan banjir.
Sayangnya, fasilitas dasar seperti toilet belum dibangun. Selain itu, kualitas jalan terutama 2 km juga masih harus ditingkatkan pemerintah setempat. (sumber: kompas.com)
Menurut Nur, Curug Jenggala diapit dua bukit, yakni Bukit Cipokol dan Bukit Ciangin. Cipokol berarti air pokok, sedangkan ciangin berarti embun. Air yang mengalir di Curug Jenggala, kata Nur, bermakna ”air surga”.
”Air itu memberi kehidupan bagi warga. Itu terbukti dengan tumbuhnya perekonomian seiring pertambahan pengunjung,” ujarnya.
Nur menambahkan, untuk menjaga keharmonisan dan kelestarian alam sekitar, warga ataupun pengunjung dilarang membuang sampah sembarangan, tidak berbuat mesum, serta menghargai kearifan lokal.
Demi keselamatan, pengunjung dilarang turun dan bermain air di sekitar curug yang tingginya sekitar 15 meter saat hujan dan mendung di bagian hulu karena rawan banjir.
Sayangnya, fasilitas dasar seperti toilet belum dibangun. Selain itu, kualitas jalan terutama 2 km juga masih harus ditingkatkan pemerintah setempat. (sumber: kompas.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar