Di atas Bukit Batur
Agung, di tenggara Keraton Ratu Boko, sebuah kompleks percandian berdiri,
tempat petani memuja Dewa Wisnu dan Dewi Sri. Hiasan kala barong yang tersenyum
di tiap sisi candi. Itulah sebabnya kompleks candi ini disebut Candi Barong.
Candi
Barong adalah
candi bercorak Hindu yang terletak di tenggara Kompleks
Ratu Boko Prambanan Sleman. Tepatnya di atas bukit di Dusun
Candisari, Desa Sambirejo, Prambanan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Candi
ini diperkirakan dibangun pada sekitar abad ke-9 dan ke-10, sebagai peninggalan Kerajaan Medang periode
Mataram
Posisi
candi agak di bawah kompleks Ratu Boko, namun masih dalam sistem perbukitan
yang sama, perbukitan Batur Agung, pada ketinggian 199 m di atas permukaan
laut. Di sisi barat daya, di bawah bukit, terletak Candi Banyunibo suatu bangunan Buddhis. Pada posisi
tenggara candi ini, berjarak sekitar 2 km, terletak Candi Ijo
Selain itu, terdapat pula di sekitarnya situs-situs arca Ganesha, Candi Miri,
Candi Dawangsari, dan Candi Sumberwatu.
Kompleks
candi ini memiliki pintu masuk di sebelah barat, lalu mengantar pada lahan
berundak tiga. Teras pertama dan kedua sudah tidak ditemukan bangunan candi,
meskipun terdapat sisa-sisa lantai atau umpak. Teras kedua merupakan area
bukaan yang cukup luas. Sebelum memasuki teras tertinggi terdapat gerbang
paduraksa kecil yang mengapit tangga naik.
Pada bagian teras tertinggi terdapat dua bangunan candi
untuk pemujaan, diperkirakan kepada Dewa Wisnu
dan Dewi Sri. Masing-masing candi ini mempunyai ukuran kira-kira 8,18 m ×
8,18 m dengan tinggi 9,05 m. Bangunan candi-candi
utama ini tidak mempunyai pintu masuk, sehingga upacara pemujaan diperkirakan
dilakukan di luar bangunan.
Pemujaan
terhadap Wisnu merupakan keistimewaan kompleks candi ini. Umumnya, candi-candi
Jawa Tengah memuja Dewa Syiwa atau
bersifat Syiwaistis. Selain itu struktur berundak, dengan pusat pemujaan terletak paling
timur juga tidak umum bagi candi-candi dari masa Medang, yang biasanya bangunan
utamanya berada di pusat kompleks. Hanya Candi Ijo yang memiliki karakteristik
sama. Struktur berundak ini dianggap sebagai ekspresi asli Indonesia. Corak
sinkretik juga tampak dari pemujaan terhadap Dewi Sri.
Namun sayang, tak ada arca, lingga ataupun yoni yang
terlihat saat ini. Dewa Wisnu dan Dewi Sri dalam bentuk arca pun tak lagi
tinggal di sini. Secara keseluruhan, bangunannya sederhana saja, tak ada
relief-relief kisah pewayangan ataupun pahatan dewa dewi di sana sini. Namun,
ketika menapaki satu persatu undakan menuju ke candi, kita akan merasakan
sisa-sisa kejeniusan masyarakat lokal masa silam. Pelatarannya yang luas dan
berada di atas bukit seolah memberi sedikit celah bagi tiap orang yang datang
untuk menikmati luasnya cakrawala. Aktifitas para petani di sekitar candi
ketika mengolah ladang dan sawah seakan menjelaskan alasan mengapa candi ini
berdiri.
Ia
dibangun menghadap ke barat, tempat di mana matahari menyudahi hari. Tak butuh
waktu lama untuk mengelilingi keseluruhan bangunannya. Tapi menikmati
pemandangan di sekelilingnya, tak mungkin cukup sebentar saja. Semakin sore,
pemandangan di candi pun semakin indah. Matahari semakin bersahabat dan tak
begitu menyengat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar